Kompak.id | Komunikatif, Profesional & Kredibel
UMUM

Kriminalisasi Masyarakat Adat Harus Dihentikan

Masyarakat Adar menuntut haknya diserahkan sepenuhnya.

KAPUAS HULU – Sudah 9 tahun sejak Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan pengujian terhadap UU Kehutanan yang diajukan 3 aliansi masyarakat hukum adat. Keputusan penting bagi masyarakat adat yang tertulis dalam Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 ini menyatakan, hutan adat bukan lagi hutan negara.

Sementara menunggu disahkan RUU Masyarakat Hukum Adat, melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.21 tertanggal 29 April 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, pengakuan wilayah hutan adat berjalan cenderung lambat. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampai 13 Desember 2021 penetapan status hutan adat sudah mencakup area seluas 69.147 hektar dari total 1.090.755 hektar luas indikatif hutan adat.

Salah satu hutan adat yang sudah diakui negara Indonesia adalah hutan adat milik Masyarakat Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik yang diakui melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tercantum dalam SK Nomor: 3238/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL. 1/5/2020 pada 20 Mei 2020. Isinya, penetapan Hutan Adat Menua Sungai Utik kepada masyarakat hukum adat Dayak Iban Menua Sungai Utik Ketemenggungan Jalai Lintang seluas 9.480 hektar.

Kendati sudah diakui, perlindungan serta hak–hak masyarakat adat belum secara maksimal diterima Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Hutan Adat Menua Sungai Utik masih saja terusik pihak berwenang. Pada 25 Mei 2022, beberapa petugas dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kapuas Hulu Utara memasuki kawasan hutan adat tanpa seizin warga, mempertanyakan aktivitas mereka yang saat itu sedang mengumpulkan kayu untuk pembangunan revitalisasi Rumah Panjang. Para petugas mengaku sedang berpatroli, namun untuk masuk daerah hutan adat, sudah sepatutnya perizinan diantarkan terlebih dahulu ke masyarakat adat yang menjadi “tuan rumah”.

Raymundus Remang, Ketua Perkumpulan Gerempong Menua Judan Sungai Utik, yang juga adalah Dewan AMAN Daerah Kapuas Hulu, dan Kepala Desa Batu Lintang Sungai Utik mengatakan, pihaknya adalah satu kesatuan dengan hutan adat.

“Kami memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan itu sangat bermakna, di sanalah penghidupan kami. Maka dari itu kejadian seperti ini sangat mengecewakan bagi kami, pemerintah seakan-akan tidak menghormati tata aturan adat yang telah dibangun di wilayah adat dan hutan adat Menua Sungai Utik,” ujarnya.

Kejadian ini menjadi refleksi, walaupun sudah memegang SK secara sah, tidak menjadi jaminan masyarakat adat terbebas dari konflik agraria, dan dapat berujung ke kriminalisasi kelompok adat. Pengakuan saja tidaklah cukup, masyarakat adat yang bernaung di NKRI memerlukan undang–undang yang mengatur tentang Masyarakat Adat dan hak ulayatnya secara utuh, perlindungan terhadap masyarakat adat dan penghidupannya harus disediakan oleh negara.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang telah dibahas sejak zaman Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mandek. Padahal urgensi RUU ini adalah memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan masyarakat adat di Indonesia dan dapat menghentikan kriminalisasi masyarakat adat juga perampasan hak – hak masyarakat adat termasuk kerusakan hutan adat di Indonesia.

BACA JUGA :  Puluhan Ibu-Ibu Geruduk Balai Kota Imbas Dari Mahalnya Buku Pelajaran

Sedikit merefleksikan penantian negara hadir di tengah masyarakat adat tepatnya Maret 2017, AMAN membahas RUU Masyarakat Adat, Presiden Jokowi sudah menjanjikan dukungan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Dalam Nawacita periode pertama Jokowi, sejumlah komitmen tertuang untuk menghadirkan perundang-undangan terkait dengan Pengakuan, Penghormatan, Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Masyarakat Adat, pembentukan komisi independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden, penyelesaian konflik agraria, serta penetapan Desa Adat.

RUU Masyarakat Adat sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 namun hingga saat ini belum ada perkembangan yang signifikan. Sayangnya, harapan atas hadirnya negara di tengah masyarakat adat tidak kunjung direalisasikan selama satu dekade Presiden Jokowi terbukti perkembangan perjalanan RUU Masyarakat Hukum Adat yang jalan ditempat, munculnya konflik agraria, dan diskriminasi yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia.

Masyarakat adat berpotensi kehilangan hak ulayat yang menjadi sumber penghidupan. Ketiadaan payung hukum yang melindungi masyarakat adat membuat mereka rentan terhadap berbagai ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi, ditambah adanya perubahan iklim yang mengancam ruang kehidupan komunitas adat. Di tengah ketidakpastian hukum dan berbagai tantangan, masyarakat adat masih terus melestarikan hutan dan alam dengan kearifan lokal, yaitu, dengan memelihara tradisi dan ritual adat untuk merawat kebudayaan.

Deputi II Sekretaris Jenderal AMAN untuk Urusan Politik, Erasmus Cahyadi mengatakan “RUU Masyarakat Adat dibutuhkan untuk menerjemahkan pengakuan dan perlindungan konstitusional melalui prosedur dan cara yang mestinya tidak saja sederhana tetapi juga harus komprehensif untuk menjawab prosedur pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat selama ini yang berbelit-belit dan sektoral. Yang kita perlukan saat ini tidak saja mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, tetapi juga harus memastikan bahwa RUU Masyarakat Adat itu sungguh-sungguh menjawab persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat selama ini,” ujar Erasmus.

Kondisi negara Indonesia belum memiliki payung hukum perlindungan terhadap masyarakat adat mengakibatkan situasi yang sangat mengkhawatirkan, dan menyebabkan masyarakat adat berada di posisi marjinal. Kurangnya edukasi dan sosialisasi mengenai hak-hak masyarakat adat di negeri ini juga mengancam ruang hidup mereka. Urgensi untuk menghadirkan harmonisasi kebijakan-kebijakan yang melindungi dan merangkul masyarakat adat harus terus didorong agar segera disahkan.

Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional menjadi momen penting untuk kembali mengingatkan masyarakat dan pemerintah bahwa masyarakat adat adalah bukti dan teladan dalam hal cara menyeimbangkan kembali hubungan kita dengan alam, termasuk kemampuan untuk beradaptasi di tengah perubahan-perubahan atas lingkungan, krisis iklim dan modernisasi. Hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat yang telah menopang kehidupan sehari-hari, dan juga titipan bagi generasi yang akan datang. Hutan menjadi salah satu kekayaan penting bagi masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya, maka dari itu dalam momentum ini, perlu direfleksikan kembali hak-hak masyarakat adat atas hak ulayat dan wilayahnya, bagi mereka yang bernaung di dalam NKRI, sudah sewajarnya masyarakat adat mendapatkan keadilan dan perlindungan melalui pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat. (*)

 

Related posts