Kompak.id | Komunikatif, Profesional & Kredibel
SEPUTAR KALTIM

Pondok Terpal di Ring Road, dan Suara Wandora yang Tak Pernah Didengar

Wandora, Pemilik Rumah dan Pondok Terpal yang dibongkar tempo hari/Foto: Ain.

Kompak.id, Samarinda – Di atas trotoar Jalan Ring Road Samarinda, pernah berdiri sebuah pondok kecil dari terpal lusuh yang terikat seadanya pada tiang dan potongan kayu. Bukan bangunan, bukan pula tempat berteduh yang layak, tapi lebih menyerupai isyarat putus asa seseorang yang sudah terlalu lama berteriak tapi tak kunjung didengar.

Itulah “pondok protes” milik Wandora.

Di sana, perempuan paruh baya itu hampir setiap hari duduk, memandang lalu-lalang kendaraan yang bergerak tanpa tahu bahwa di balik terpal yang bergoyang ditiup angin, ada kisah yang jauh lebih berat dari yang tampak.

“Saya cuma mau pemerintah lihat keadaan kami, Kalau tidak begini, siapa yang mau dengar?,” katanya pelan, Senin (17/11/2025).

Namun pondok terpal itu bukan rumah Wandora yang sebenarnya. Rumah aslinya berdiri beberapa meter dari situ, tepat di seberang jalan yang sedikit berbukit dan kondisinya hampir tak berbeda. Atapnya pun dari terpal, dindingnya dari papan tipis puing bongkaran. Lantai seadanya menjadi alas tidur keluarganya sejak rumah mereka dihancurkan.

Yang berbeda hanyalah satu, yang di seberang jalan itu adalah sisa-sisa tempat tinggal yang sesungguhnya, sementara pondok di trotoar hanyalah simbol dari kerinduan akan keadilan.

“Kami tinggal dari puing-puing rumah yang dibongkar, semua hancur. Tanaman kami pun habis dilindas,” ujarnya.

Ia bercerita tanpa nada marah, lebih seperti seseorang yang sudah terlalu lelah untuk mengeluarkan emosi. Namun matanya tetap menunjukkan perlawanan yang belum padam.

Wandora meyakini tanah yang kini disengketakan PT. Sumber Mas Timber adalah milik orang tuanya. Ia menggenggam surat segel tua keluaran pemerintah tahun 1970-an sebagai bukti. Di tanah itulah keluarganya hidup sejak 1970–1971, sebelum jalan itu ada, sebelum kawasan itu berkembang, sebelum perusahaan mana pun hadir.

“Saya masih kecil waktu kami tinggal di sana, Perusahaan baru masuk 1979. Kok bisa tiba-tiba mereka bilang tanah itu punya mereka?,” kenangnya.

Ia mengingat jelas saat mediasi berlangsung, dokumen kepemilikan yang diminta pemerintah kepada perusahaan tak kunjung muncul. Namun beberapa waktu kemudian, perusahaan mengaku sudah menemukan bukti pembelian yang sebelumnya tak pernah ditunjukkan.

“Dulu tidak punya surat. Sekarang tiba-tiba punya. Itu yang saya tidak mengerti,” katanya sambil menggeleng pelan.

Penggusuran itu terjadi tiba-tiba. Tanpa ganti rugi. Tanpa kompensasi. Tanpa ruang untuk bernapas.

“Tiga rumah kami dihancurkan. Kami diseret keluar. Barang-barang hancur semua,” ucapnya, suaranya merendah.

Wandora menunjukkan tanaman-tanaman yang dulu ia rawat seperti pisang, nangka, dan beberapa rumpun tanaman obat. Sekarang sebagian hanya tinggal tanah kosong dengan belukar dan bekas tapak alat berat.

Pemerintah, katanya, pernah menawarkan relokasi. Tapi baginya, relokasi bukan jawaban.

“Kalau saya pindah, berarti saya melepas tanah orang tua saya. Saya tidak mau. Hak itu harus saya jaga,” katanya bukan keras, tapi dengan kepastian yang berat.

Ketika pondok terpal di trotoar itu dibongkar oleh Satpol PP, Wandora mengaku hanya diberi waktu satu hari. Ia belum sempat mengemasi apa pun ketika petugas datang di hari Jumat, dua hari setelah peringatan pertama.

“Tidak ada surat, Awalnya mereka bilang saya diberi waktu. Tiba-tiba langsung dibongkar,” tuturnya.

Yang tersisa kini adalah terpal yang semakin lusuh, kayu-kayu yang patah, dan sebuah rumah darurat di seberang jalan yang lebih mirip tempat bertahan hidup ketimbang tempat tinggal.

Namun Wandora tetap di sana, di bawah terpal, di samping jalan, di tengah deru kendaraan yang tidak pernah berhenti. Bukan karena ia ingin dianggap, melainkan karena itu satu-satunya cara untuk membuat dunia menoleh sebentar.

“Saya hanya ingin keadilan. Tanah itu tempat kami hidup. Kami tidak punya apa-apa lagi, kecuali itu,” ujarnya.

Di Ring Road yang ramai, kisah Wandora mungkin hanya sepotong dari banyak kisah serupa. Namun bagi dirinya, itu adalah seluruh hidup yang kini bertumpu pada selembar terpal dan keyakinan bahwa suatu hari ada yang akan mendengar. (Ain)

Related posts