Kompak.id | Komunikatif, Profesional & Kredibel
SEPUTAR KALTIM

Masyarakat Adat Empat Desa di Paser Tolak Perpanjangan HGU PTPN IV

Masyarakat Adat Paser Pasca RDP Bersama DPRD Kaltim.

Kompak.id, Samarinda – Penolakan terhadap rencana perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Regional V di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, kembali mencuat. Warga dari empat desa adat menegaskan bahwa keberadaan perusahaan milik negara itu selama puluhan tahun tidak membawa manfaat, justru menimbulkan konflik, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan tanah leluhur mereka.

Isu tersebut dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar DPRD Kalimantan Timur bersama kelompok masyarakat adat Awa Kain Naket Bolum dari Desa Lombok, Pasir Mayang, Pait, dan Sawit Jaya di ruang Komisi I DPRD Kaltim, Senin (10/11/2025).

Perwakilan masyarakat adat, Titus, menegaskan penolakan keras terhadap perpanjangan HGU PTPN IV. Ia menilai perusahaan tidak pernah memberi dampak positif bagi warga sekitar kebun, bahkan kerap memicu konflik di lapangan.

“Kami masyarakat adat Paser menolak perpanjangan itu. Selama ini kami tidak pernah merasakan manfaatnya,” ujar Titus.

Ia juga menyoroti adanya tindakan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan hak adat, di antaranya dua warga bernama Syahrul M dan Alu Herman yang dijadikan tersangka usai melakukan ritual adat di kawasan yang diklaim perusahaan.

“Ini menunjukkan ketidakadilan bagi masyarakat adat,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, masyarakat adat mengajukan empat tuntutan utama. Pertama, meminta Presiden dan DPR RI merekomendasikan kepada Kementerian ATR/BPN agar tidak memperpanjang HGU atas tanah eks kebun inti PTPN IV di empat desa tersebut. Kedua, meminta penyelesaian konflik agraria melalui pengembalian lahan eks HGU kepada masyarakat adat untuk dikelola secara komunal. Ketiga, mendesak aparat kepolisian menghentikan proses hukum terhadap dua warga yang dikriminalisasi. Dan keempat, menilai pengabaian terhadap tuntutan ini sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia serta hak masyarakat adat atas tanah dan budaya leluhur mereka.

Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, menyatakan DPRD berperan sebagai mediator agar solusi dapat ditemukan tanpa merugikan kedua pihak.

“Kami memfasilitasi pertemuan ini agar ada komunikasi langsung antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan,” jelasnya.

Ia mengakui konflik antara masyarakat adat dan PTPN IV telah berlangsung lama. Untuk itu, DPRD akan menindaklanjuti hasil rapat dengan berkonsultasi kepada kementerian terkait.

“Kami akan konsultasi ke Kementerian ATR/BPN, Kementerian Keuangan, dan kementerian lainnya agar ada penyelesaian konkret,” ujarnya.

Salehuddin menambahkan, pihaknya memahami keresahan warga namun juga perlu mempertimbangkan keberadaan perusahaan yang mempekerjakan sekitar 558 karyawan, sebagian besar merupakan masyarakat lokal.

“Kami ingin solusi yang tidak merugikan kedua pihak. Perusahaan bisa tetap beroperasi, sementara masyarakat juga mendapat manfaat,” katanya.

Ia menilai penyelesaian konflik agraria ini sangat bergantung pada keterbukaan komunikasi dan tanggung jawab sosial perusahaan.

“PTPN IV perlu memperkuat peran CSR dan program pemberdayaan agar masyarakat di sekitar kebun benar-benar merasakan manfaatnya,” tuturnya.

DPRD Kaltim berharap penyelesaian masalah ini dapat ditempuh tanpa jalur hukum agar situasi di lapangan tetap kondusif.

“Jangan sampai konflik ini berlarut. Kami ingin semuanya diselesaikan secara musyawarah,” tambahnya.

Sebagai catatan, polemik HGU PTPN IV di Kabupaten Paser telah berlangsung sejak awal 1980-an. Izin pertama kali diterbitkan pada 1982, dan kini masa HGU tersebut telah berakhir. Masyarakat adat kembali menolak perpanjangan izin karena menilai prosesnya tidak transparan dan mengabaikan hak mereka atas tanah leluhur.

Dari hasil RDP, DPRD Kaltim menegaskan komitmennya untuk mendampingi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak mereka serta memastikan perpanjangan HGU tidak dilakukan sebelum ada kepastian hukum yang adil.

“Persoalan ini harus diselesaikan dengan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat. Negara harus hadir bukan hanya sebagai pelindung investasi, tetapi juga sebagai pelindung rakyatnya,” pungkas Salehuddin. (Ain)

Related posts