Kompak.id | Komunikatif, Profesional & Kredibel
BERITA UTAMA OPINI

Emas Imitasi Sepulang Ibadah Haji

sumber foto: Kompas.Com

Catatan: Endro S. Efendi, CHt., CT., CPS., CME. *)

“Ting-tung”, suara itu terdengar ketika lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. Sejurus kemudian, terdengar sedikit kegaduhan. Tiba-tiba bau parfum merebak di kabin pesawat. Baunya bermacam-macam. Campur aduk jadi satu. Bagi yang tidak tahan, pasti dibuat pusing. Selain menyemprotkan parfum, sebagian yang lain sibuk memakai jubah, memasang penutup kepala yang sering disebut bolang. Juga mempertebal bedak dan polesan lipstik, serta menata kembali pernak-pernik yang terpasang di leher. Ada pula yang menambahkan perhiasan di leher dan kedua tangan, termasuk jari-jarinya.

Saya baru menyadari, sebagian besar penumpang pesawat dari Jakarta ke Makassar ini adalah para jemaah haji plus yang siap kembali ke daerahnya. Itu terjadi sekitar 4 tahun lalu, jauh sebelum pandemi Covid 19. Tak heran jika mereka tidak pulang bersamaan dengan jemaah haji lainnya melalui embarkasi Makassar.

Ya, fenomena mengenakan perhiasan yang bagi sebagian orang dianggap berlebihan itu, justru dianggap lumrah bahkan menjadi tradisi bagi warga di Sulawesi Selatan. Entah sejak kapan ini terjadi. Entah siapa pula yang pertama kali memulai. Sampai akhirnya, kisah ini kembali viral ketika salah satu warga yang baru pulang dari ibadah haji tiba di Makassar, tersorot kamera wartawan menggunakan perhiasan yang sangat mencolok, Rabu (5/7/2023) tadi.

Akibatnya, Bea Cukai Makassar pun seketika melirik. Karena sudah ada ketentuan pajak bagi siapa saja yang baru pulang dari luar negeri, kemudian berbelanja lebih dari 500 US dolar, maka akan dikenakan pajak. Namun setelah dikonfirmasi, perhiasan seberat 180 gram itu ternyata imitasi alias emas sepuhan.

Kepada wartawan, seperti ditulis Kompas, wanita 46 tahun ini memang sudah berniat saat pulang haji, bisa memakai perhiasan seperti jemaah lainnya. Wanita yang diketahui memiliki usaha burger itu juga mengaku lebih berkarisma ketika mengenakan perhiasan tersebut.

Meski faktanya imitasi alias bukan emas murni, lantas kenapa ada rasa percaya diri bahkan pemakainya mengaku lebih berkarisma? Ini karena pikiran bawah sadar tidak bisa membedakan mana asli dan mana yang tidak asli. Sifat pikiran bawah sadar, hanya menerima program yang ditanamkan oleh setiap individu. Itulah kenapa, kebohongan yang dilakukan terus-menerus, maka bagi pikiran bawah sadar dianggap sebagai sebuah kebenaran.

BACA JUGA :  HUT Ke-15, Guru Udin Perkuat Spiritualitas Pengurus Gerindra Kutai Kartanegara

Sebagai contoh, coba pembaca membayangkan sedang duduk santai di tepi pantai. Kemudian melihat air laut yang sangat tenang. Tiba-tiba di kejauhan terlihat ada kereta api yang berjalan di atas air laut yang tenang terus mendekat ke tepi pantai. Sebelum menyentuh bibir pantai, kereta api itu berhenti. Kemudian penumpangnya keluar dan berjalan kaki menuju ke arah pantai.

Bagaimana, terlihat gambarnya? Bisa dibayangkan bukan? Padahal, apakah masuk akal ada kereta api berjalan di atas permukaan air laut? Tapi bagi pikiran bawah sadar, tetap saja gambar itu muncul. Karena sifat pikiran bawah sadar tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata.

Karena itu, tak perlu heran jika banyak orang yang kemudian mudah melakukan flexing. Sebab saat melakukan hal tersebut, pikiran bawah sadar tetap menganggap hal itu nyata. Karena dianggap nyata, maka otak menyemprotkan hormon endorfin alias hormon kebahagiaan yang bisa dirasakan seketika. Itulah yang kemudian pelaku flexing merasa lebih berkharisma, dan lebih percaya diri.

Artinya, apa yang dilakukan oleh mereka yang flexing tentu sah-sah saja. Karena mereka merasakan kebahagian bagi dirinya sendiri. Namun tentu saja, jika terus menerus dilakukan pasti ada efek sampingnya. Ketika pikiran bawah sadar semakin tidak mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata, maka semakin sulit untuk bisa hidup apa adanya. Efeknya, akan melakukan apa saja, agar terus mendapatkan penilaian positif dari orang lain. Jika dibiarkan, dikhawatirkan akan muncul penyakit narsis atau narsisme yang ditandai kecenderungan berlebihan dalam perasaan superioritas dan membutuhkan pengakuan terus-menerus. Dampak paling parah, bisa menyebabkan seseorang mengalami halusinasi.

Sekali lagi, tulisan ini bukan untuk menghakimi atau menilai baik atau tidak baiknya seseorang. Namun, tulisan ini hanya mengulas fenomena sosial yang dikaitkan dengan cara kerja pikiran bawah sadar.

Mari menjadi diri sendiri apa adanya. Sehingga kapasitas dan karakter yang berkembang adalah diri sendiri yang sesungguhnya. Karena sejatinya, sehat bukan sekadar secara fisik saja. Tapi menjadi diri sendiri akan terus menjaga kesehatan mental kita tetap maksimal. Bagaimana menurut sahabat?

*) Praktisi Teknologi Pikiran, Trainer Ikatan Pengembang Kepribadian Indonesia (IPPRISIA) Kaltim.

 

 

 

Related posts