Kompak.id, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 10 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (10/3/2023). Permohonan Nomor 120/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Bahrain yang berprofesi sebagai advokat dan Yayasan Pusat Studi Strategis dan Kebijakan Publik Indonesia (CSIPP). Sidang keenam yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra ini beragendakan mendengarkan keterangan dari ahli yang dihadirkan para Pemohon.
Titi Anggraini yang merupakan ahli bidang Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia memberikan keterangan tentang desain keserentakan pemilu. Berdasarkan konstruksi tahapan pemilu berupa rangkaian kegiatan yang terhubung satu sama lain sebagaimana terdapat pada pasal 167 ayat (4) UU Pemilu mensyaratkan masa keanggotaan penyelenggara pemilu yang mampu mengimplementasikan keseluruhan tahapan dalam satu kesatuan yang utuh dan integral. Hal ini, sambung Titi, sejalan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyebutkan pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
“Frasa “tetap” ini tidak hanya berkaitan dengan periode keanggotaan yang menjabat selama lima tahun, tetapi juga berkaitan dengan keberadaan keanggotaan yang juga tetap selama pelaksanaan seluruh tahapan pemilu berlangsung. Dengan demikian, penggantian penyelenggara pemilu di tengah berlangsungnya tahapan pemilu, dinilai tidak sejalan dengan ketentuan dalam konstitusi dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945,” jelas Titi yang hadir secara langsung di Ruang Sidang Pleno MK.
Ketidakadilan Bagi Penyelenggara Pemilu
Penyelenggara pemilu tak hanya harus independen, tetapi mampu menunjukkan performa yang merefleksikan kapasitas dalam menyelenggarakan pemilu yang berintegritas. Untuk itu menurut Titi, dalam pengisian keanggotaannya melalui seleksi calon anggota KPU Provinsi/Kabukaten/Kota diselenggarakan pula pengucapan sumpah/janji calon terpilih serta orientasi tugas/pelatihan dalam rangka memperkuat kapasitas performa penyelenggaraan pemilu yang baru. Namun, proses yang berserakan dan terjadi beberapa gelombang karena adanya perbedaan akhir masa jabatan, dalam praktiknya hal ini mengakibatkan ketidakadilan perlakuan bagi anggota KPU tersebut.
Lebih jelas Titi menguraikan bahwa di tengah-tengah tahapan krusial pemilu, maka program pelatihan pun tidak bisa diselenggarakan sebagaimana mestinya. Hal ini menurut Titi merupakan suatu perlakukan tidak adil bagi penyelenggara pemilu karena ada yang bisa mendapatkan pelatihan sebelum bekerja secara layak dan memadai, sementara yang lainnya tidak mendapatkan hal serupa. Ketidakadilan ini bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Bahwa adil bukan hanya prinsip yang harus diperoleh peserta pemilih, tetapi juga bagi penyelenggara pemilu.
“Ketidakmampuan menyiapkan penyelenggara yang berkinerja baik bagi seluruh penyelenggaraan pemilu, selain sebagai bentuk perlakukan tidak adil bagi penyelenggara, pada akhirnya juga dapat mengancam dan membahayakan integritas dan kredibilitas pemilu,” sebut Titi.
Dampak Bagi Penyelenggara Pemilu
Atas keterangan ahli ini, beberapa pertanyaan dan diskusi muncul dari meja para hakim konstitusi. Salah satunya pertanyaan dari Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tentang keberserakan masa jabatan penyelenggara pemilu.
Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mengatakan saat ini seleksi penyelenggaraan masih berserakan. Atas ini Manahan meminta kepada ahli untuk dibuatkan suatu desain secara general yang tidak berdampak diskriminatif bagi penyelenggara pemilu.
Berikutnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mempertanyakan dampak terburuk dari pergantian di tengah penyelenggaraan tahapan pemilu. Sementara dalam pandangan Daniel, pengisian jabatan sejatinya telah berkelanjutan dengan maksud bukan pada orang, tetapi pada kelembagaannya.
Seleksi di Luar Tahapan
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Titi menjawab bahwa penyelenggara pemilu bertugas menyelenggarakan tahapan pemilu. Rekrutmennya dilakukan berjenjang mulai dari nasional hingga daerah. Namun pada UU Pemilu menerapkan seleksinya bersifat sentralisasi. Dengan arti kata penilaian dan penentuan hasil rekrutmen ditetapkan oleh KPU Pusat, penentuan akhir nama dilakukan oleh KPU.
“Atas ini ahli mendukung adanya desain serentak lokal dan serentak nasional, namun UU Pemilu tidak diubah. Bahwa seleksi penyelenggara pemilu sebaiknya dilakukan di luar tahapan,” jelas Titi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Senin, 8 Mei 2023 pukul 11.00 WIB. Adapun agenda persidangan yakni mendengarkan keterangan dari Saksi Pemohon.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 120/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Bahrain yang berprofesi sebagai advokat, dan Yayasan Pusat Studi Strategis dan Kebijakan Publik Indonesia (CSIPP). Para Pemohon mempertanyakan pemangkasan masa jabatan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota dengan keserentakan rekrutmennya dalam rangka persiapan Pemilu Serentak 2024. Dalam pandangan para Pemohon, pemangkasan masa jabatan tersebut berdampak pada beberapa hal, di antaranya pemangkasan masa jabatan sebelum lima tahun melanggar asas legalitas. Sebab anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dilantik untuk masa jabatan lima tahun sejak pengucapan sumpah.
Seleksi anggota KPU bersamaan dengan pelaksanaan tahapan pemilu berpotensi mengganggu jalannya tahapan pemilu. Selain itu, menyebabkan pemborosan karena negara harus menanggung kompensasi gaji para anggota KPU yang dipangkas masa jabatannya. Di sisi lain, negara tetap menggaji para anggota KPU yang masih menjabat.
“Berdasarkan data KPU RI dan membandingkan masa jabatan anggota KPU Provinsi pada 2023–2024 berbeda-beda. Ketidakseragaman masa jabatan ini akan berdampak pada banyaknya gelombang seleksi dan beragamnya waktu penyelenggaraan seleksi sehingga mengganggu konsentrasi pelaksanaan tahapan pemilihan umum serentak 2024. Demi penataan sistem penyelenggaraan pemilu yang baik, seharusnya rekrutmen anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan secara serentak di luar tahapan pemilu atau pada pra-elektoral. Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya transisi dengan memperpanjang masa jabatan anggota KPU yang semula berakhir 2023 dan 2024 diperpanjang hingga selesainya tahapan pemilu serentak pada tahun 2024,” jelas Ikhwan dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (19/12/2022).
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 10 Ayat (9) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota yang berakhir masa jabatannya pada Tahun 2023 dan Tahun 2024 diperpanjang masa jabatanya sampai setelah selesainya Tahapan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024”. (*)
Sumber: mkri.id