Kompak.id, Samarinda — Dosen tetap Universitas Widya Gama Mahakam (UWGM) Samarinda, Sri Evi New Yearsi, dinonaktifkan secara sepihak oleh pihak kampus sejak 1 Agustus 2025. Penonaktifan dilakukan saat Sri Evi tengah menjalani proses hukum di Mahkamah Agung terkait gugatan kekurangan upah terhadap UWGM.
Kuasa hukum Sri Evi, Titus Tibayan Pakalla, menyebut langkah kampus sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kliennya.
“Surat penonaktifan sementara tertanggal 30 Juli baru diterima klien kami pada 1 Agustus melalui email. Ini mencurigakan karena terbit setelah kami menggugat pihak kampus ke Pengadilan Hubungan Industrial,” ujar Titus dalam konferensi pers di Samarinda, Rabu (6/8/2025).
Titus menjelaskan, Sri Evi menggugat UWGM ke PHI atas dasar pembayaran gaji di bawah Upah Minimum Kota (UMK). Gugatan tersebut berangkat dari temuan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur yang menyatakan adanya kekurangan pembayaran upah sejak 2016 hingga 2024.
“Meski sudah ada penetapan resmi dari dinas, pihak kampus tidak bersedia membayar kekurangan tersebut,” jelas Titus.
Sempat ditolak oleh PHI Samarinda karena dinilai di luar kewenangannya, perkara kini berada pada tahap kasasi di Mahkamah Agung. Namun, dalam surat penonaktifan yang diterima Sri Evi, kampus menyebut adanya perkara hukum di Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, klaim yang dibantah oleh pihak kuasa hukum.
“Tidak benar ada perkara di Pengadilan Tinggi Kaltim. Proses hukum saat ini berada di Mahkamah Agung. Pernyataan itu menyesatkan dan mencoreng reputasi klien kami,” tegas Titus.
Surat penonaktifan juga menyebut alasan menjaga situasi kondusif di lingkungan kampus. Menanggapi hal tersebut, Titus menyatakan bahwa tidak ada bukti atau laporan bahwa Sri Evi menimbulkan kekacauan.
Sri Evi sendiri mengaku penonaktifan tersebut menghambat tugas akademiknya, termasuk membimbing mahasiswa yang tengah menyusun skripsi dan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN).
“Saya masih menerima banyak pesan dari mahasiswa yang meminta tanda tangan bimbingan. Tapi saya tidak bisa membantu mereka karena status saya sudah dinonaktifkan,” ujarnya.
Selain itu, Sri Evi menyampaikan bahwa kebijakan tersebut juga menghambat proses kenaikan jabatan fungsionalnya. Ia menyebut pengisian Beban Kinerja Dosen (BKD) pada bulan September menjadi tidak bisa dilakukan karena statusnya tidak aktif.
Kasus ini bermula dari mutasi jabatan di UWGM pada September 2024 setelah pergantian rektor. Saat itu, Sri Evi dicopot dari posisi Kepala UPT Laboratorium Fakultas Kesehatan Masyarakat tanpa alasan yang dijelaskan secara objektif.
“Saya hanya diberitahu karena ‘jenuh’. Tidak ada dasar regulasi atau hasil evaluasi kinerja,” katanya.
Atas penonaktifan tersebut, kuasa hukum telah melayangkan surat keberatan ke Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah XI Kalimantan dan berencana mengajukan somasi resmi kepada UWGM.
“Kami menuntut kampus mencabut surat penonaktifan dan memulihkan nama baik klien kami. Jika tidak, kami siap membawa persoalan ini ke ranah hukum lebih lanjut,” pungkas Titus. (Ain)