Kompak.id, Samarinda – Polemik kerja sama Yayasan Melati dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur tampaknya belum akan segera berakhir, terutama terkait dengan pengelolaan lahan dan bangunan yang digunakan Yayasan Melati di Kampus Melati pasca kepindahan SMAN 10 Samarinda. Sebab selama ini Yayasan melati hanya diberikan hak pakai yang hak itu telah dicabut oleh Pemprov Kaltim sejak 2014 lalu. Pencabutan tersebut berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Timur Nomor 180/K.745/2014 tanggal 21 November 2014 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 341 Tahun 1994 tentang Penyerahan Hak Pakai/Penggunaan Tanah Milik/dikuasai Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur kepada Yayasan Melati Samarinda.
Namun, gugatan Yayasan Melati terhadap gubernur terkait pencabutan hak pakai lahan ke pengadilan harus kandas. Pengadilan tingkat pertama dan terakhir menolak gugatan pihak yayasan. Seperti Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 64 K/TUN/2016, tanggal 18 April 2016 dan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 72 PK/TUN/2017 Tanggal 8 Juni 2017. Artinya status lahan yang dipakai Yayasan Melati sudah jelas, yakni aset Pemprov Kaltim. Kemudian bagaimana dengan status aset berupa bangunan yang juga dibangun menggunakan dana hibah dan bansos dari APBD Pemprov Kaltim yang juga di atas lahan milik Pemprov Kaltim itu?
Mengutip salinan Putusan MA itu, Yayasan Melati diberikan hak pakai untuk mengelola lahan Pemprov Kaltim melalui Sertifikat Hak Pakai Nomor 8 tanggal 6 Juli 1988 seluas 122.545 meter per segi (12,25 hektar). Yayasan mengakui di atas lahan yang berlokasi di Jalan HM Rifadin, Loajanan Ilir itu, kini telah berdiri sarana dan prasarana pendidikan, seperti Paud Melati; SMP Plus Melati; SMK Plus Melati; SMA Plus Melati; gedung asrama; auditorium; perpustakaan; laboratorium; gedung kesenian; kolam renang; dan fasilitas lainnya.
“Sebab baik Kampus melati dan maupun seluruh gedung dan/atau bangunan yang berdiri di atas Tanah Hak Pakai Nomor 8 tersebut keseluruhannya merupakan aset milik Yayasan Melati Samarinda dan bukan merupakan aset milik Pemprov Kaltim dan/atau bukan Barang Milik Daerah (BMD),” demikian salah satu alasan dalam upaya hokum Peninjauan Kembali (PK) Yayasan Melati yang dikutip dari salinan putusan PK Nomor 72 PK/TUN/2017 Tanggal 8 Juni 2017. Yayasan Melati mengakui, sejak tahun 2000 sampai dengan 2010 di dalam membangun Kampus Melati Samarinda terdapat bantuan dana dari APBD Pemprov Kaltim.
Sejumlah bangunan di Kampus Melati di atas lahan 12 hektar milik Pemprov Kaltim
Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah mendorong pemerintah mendapatkan penerimaan melalui sektor pemanfaatan aset negara/daerah diantaranya dengan cara menyewakan aset milik negara/daerah dengan penyetoran secara bertahap. Seperti yang diungkapkan Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu.
“Kalau saya menilai pemprov Kaltim menawarkan kerja sama dalam bentuk sewa (lahan) ke Yayasan Melati untuk menggunakan aset pemprov di situ. Saya kira ini (sewa) menjadi win-win solution. Cara sewa ini juga sudah digunakan dalam mengelola aset-aset pemprov selama ini,” kata Demmu kepada media ini, Rabu (9/6/2021).
Demmu menjelaskan, pengelolaan aset daerah dapat dilihat bagaimana kerja sama antara Pemprov Kaltim dengan Yayasan Rumah Sakit Islam Samarinda. Yayasan Rumah Sakit Islam saat ini bersedia menyewa aset Pemprov Kaltim untuk mengoperasikan Rumah Sakit Islam.
“Kalau tidak ada sewa menyewa atau dalam bentuk kerja sama lain yang jelas, maka ini sangat berbahaya. Sebab itu aset pemprov yang dalam pengelolaannya ada aturannya. Lahan di Rumah Sakit Islam disewakan dan yayasan mau menyewa. Itukan bisa jadi contoh untuk Yayasan Melati. Agar semua aset pemprov dan daerah dapat dikelola sesuai aturan walaupun bentuk kerja sama dalam sewa masih ada nilai sosialnya,” kata Demmu menjelaskan.
Legislator asal PAN itu meminta agar Yayasan Melati dapat bekerja sama dengan Pemprov Kaltim sebagaimana kerja sama yang telah terjalin selama ini.
“Saya pikir yayasan harus kooperatif, bahwa itu aset pemprov bahkan bangunan itu juga dibangun dari dana hibah pemprov. Kalau Yayasan Melati ingin SMAN 10 pindah, maka di lahan SMAN 10 mestinya tidak ada kegiatan oleh yayasan. Tapi kalau kemudian yayasan memanfaatkan aset pemprov tapi tidak memberikan manfaat apapun terhadap pemprov maka itu pelanggaran, pemerintah dirugikan,” urai Demmu menegaskan.
Dalam mengelola barang milik dareah selain sewa, aset daerah dapat dihibahkan ke masyarakat. Untuk opsi ini, Demmu mengatakan terdapat mekanisme yang harus dijalankan.
“Opsi lainnya, silakan gubernur bersurat ke pimpinan DPRD untuk mengusulkan agar aset pemprov itu dihibahkan. Nantikan akan dibahas di DPRD dan tentu kami juga akan pikir-pikir,” katanya melanjutkan.
Demmu selama ini menyayangkan, polemik hanya berkutat pada pelayanan pendidikan dan meninggalkan persoalan aset daerah yang sebenarnya juga bagian dari inti persoalan.
“Kampus SMAN 10 di Jalan Perjuangan memang belum lengkap. Harusnya tunggu lengkap dulu baru pindah. Memang selama ini kami (Komisi II) tidak dilibatkan dalam membahas masalah SMA 10. Maksud saya Komisi II harus dilibatkan untuk membahas persoalan asetnya,” kata Demmu memungkasi.
Terkait asset SMAN 10, Ketua Yayasan Melati, Murjani beberapa waktu lalu kepada awak media mengatakan, SMAN 10 sudah tidak memiliki aset apapun. Menurutnya bangunan-bangunan yang berdiri di atas lahan Pemprov Kaltim tersebut merupakan aset yayasan.
“SMA 10 sudah tidak mempunyai hak atas semuanya. Karena semua dokumentasi terkait putusan MA, KIP itu semua berkasnya sudah dikumpul dan disampaikan ke gubernur,” katanya, Sabtu (5/6/2021). (woy)