Kompak.id, Samarinda – Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kaltim kekurangan tenaga pendidik. Kekurangan itu dikarenakan, tenaga pendidik di SLB harus berkriteria khusus, tak hanya itu, SLB juga memiliki kurikulum pelajaran tersendirinya. Sehingga kemampuan guru SLB berbeda dengan sekolah pada umumnya.
“Untuk guru, idealnya adalah guru lulusan pendidikan luar biasa atau guru pendidikan khusus, dan kita masih kekurangan tenaga pendidik,” ucap Pengawas Pendidikan Khusus Disdikbud Kaltim, Muhammad Syafi’i, Jumat (28/7/2023).
Syafi’i mengatakan, kekurangan tenaga pendidik yang berlatar belakang S1 pendidikan khusus itu perlahan ditanggulangi melalui kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki jurusan pendidikan khusus.
“Sudah beberapa angkatan ini kita kerja sama dengan UNESA untuk mencetak guru-guru SLB di Kaltim, dan yang berminat untuk mengikuti program itu akan ditanggung dengan beasiswa Kaltim,” kata Syafi’i.
Syafi’i menjelaskan, saat ini tenaga pendidik di SLB sebagian besar dari luar Kaltim. Karena perguruan tinggi yang lebih awal menyediakan jurusan guru SLB hanya ada di Makassar, UNESA, Jawa Tengah, Jawa Timur, UNY. Kemudian di Solo, Bandung, Padang serta Jakarta, dan sekarang ditambah Universitas Lambung Mangkurat. Di Kaltim sendiri belum ada perguruan tinggi yang membuka jurusan tersebut.
“Dengan adanya beasiswa dari Kaltim ini, banyak putra daerah yang ikut, tetapi untuk yang honor di SLB banyak juga putra daerah karena tergantung minat juga, mengingat yang dihadapi adalah anak luar biasa,” lanjutnya.
Selain kriteria guru, mata pelajaran sendiri juga memiliki perbedaan dengan sekolah reguler. Sebab di SLB menerapkan program pembelajaran khusus.
“Program pembelajaran khusus itu disesuaikan dengan jenis anak misalkan tunanetra, tunanetra itu salah satunya adalah orientasi dan mobilitas, kemudian untuk anak tuna rungu ada bicara bina persepsi bunyi dan irama, atau bina komunikasi, yang membahas bagaimana bahasa isyarat, mata pelajaran seperti itu hanya ada di SLB,” jelas Syafi’i.
Lebih lanjut, Syafi’i menerangkan, karena terjadi perbedaan mata pelajaran tadi, sehingga siswa SLB akan dikelompokkan per kebutuhan khususnya, tidak dicampur dengan yang kebutuhan nya berbeda, karena kurikulum mereka juga memang berbeda.
“Jadi kalau tuna netra, kurikulumnya tuna netra, tuna rungu kurikulumnya tuna rungu, tuna grahita kurikulumnya tuna grahita, karena beda, kalau tuna netra itu kemampuan berfikirnya sama dengan anak normal, begitupun tuna daksa, tuna daksa hanya gangguan fisik saja, kalau cara berfikirnya sama aja dengan anak pada umumnya,” paparnya.
Karena di dalam SLB jenjangnya sudah otomatis termuat TK LB, SD LB, SMP LB dan SMA LB, dalam satu atap, tak jarang guru yang di tingkatan SLB yang rendah semisal TK LB, tidak hanya berperan sebagai guru saja tetapi sebagai seorang baby sitter juga.
“Makanya untuk jenjang SDLB idealnya menurut peraturan, kalau anak itu tunanetra dan tidak memiliki gangguan lain itu 1 banding 5 siswa, itu kalau tidak double anaknya, misal anak itu sudah tuna netra, tuna grahita juga, jadi sudah buta, IQ nya juga rendah, itu idealnya 1 banding 5, kalau sudah lulus SDLB, ke SMPLB dan SMA LB itu baru satu banding 6,” tutup Syafi’i. (Adv/Ain/Disdikbud Kaltim)