Kompak.id | Komunikatif, Profesional & Kredibel
SEPUTAR KALTIM

Sorgum Jadi Tanaman Perintis di Lahan Eks Tambang, Namun Pemasaran Masih Sulit

Kompak.id, Samarinda — Gubernur Kalimantan Timur Rudi Mas’ud menegaskan komitmen pemerintah daerah untuk mendorong pemanfaatan lahan pasca tambang sebagai sektor pertanian produktif. Kebijakan ini menjadi bagian dari agenda transformasi ekonomi Kaltim agar tidak lagi bertumpu pada industri ekstraktif, melainkan pada komoditas pangan yang berkelanjutan.

“Transformasi itu diharapkan menjadikan Kaltim tidak lagi hanya bergantung pada ekstraksi tambang, tetapi pada sektor produktif yang memberi nilai tambah ekonomi jangka panjang,” kata Rudi, Kamis (27/11/2025).

Sejalan dengan arahan tersebut, Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Kaltim, Dyah Adiaty Yahya, menyebut lahan bekas tambang dapat diubah menjadi area budidaya tanaman pangan, termasuk sawah, asalkan melalui proses reklamasi yang serius dan bertahap.

“Sebenarnya kalau petani mau, bisa. Contohnya KITADIN dan BBE. Sawah sudah dibuat di sana. Tapi itu butuh waktu karena kondisi lahannya kurus dan minim kandungan hara, jadi harus pelan-pelan kita ubah,” ujar Dyah.

Dyah mengakui tantangan utama saat ini adalah belum adanya data rinci mengenai lokasi bekas tambang yang layak ditanami.

“Kami kesulitan mencari data. Mana sih bekas tambang yang bisa kita pakai? Sampai sekarang belum ada data yang benar-benar bisa ditelusuri,” paparnya.

Dyah berujar tanaman sorgum merupakan komoditas paling ideal untuk fase awal pemanfaatan lahan pasca tambang. Sorgum adalah tanaman serealia seperti jagung dan gandum, namun lebih tahan kekeringan, tidak banyak membutuhkan air, dan dapat tumbuh di tanah marginal. Selain sebagai sumber pangan (tepung bebas gluten, bubur, gula cair), sorgum juga memiliki nilai komersial sebagai pakan ternak dan bahan baku bioetanol.

Tanaman ini juga memiliki kemampuan fitoremediasi, yakni menyerap logam berat dan racun dalam tanah. Akar sorgum yang dalam membantu memperbaiki struktur tanah, sementara legum yang bersimbiosis di bawahnya menambah nitrogen sehingga memperkaya unsur hara yang hilang akibat aktivitas tambang.

“Sorgum paling bagus karena bisa menyerap racun. Di bawahnya, legum membantu memperbaiki unsur tanah. Tapi kalau mau hasilnya bagus, membutuhkan biaya besar, pupuk, dan waktu untuk memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologis tanahnya,” jelasnya.

Meski unggul untuk rehabilitasi tanah dan memiliki nilai ekonomi, Dyah menegaskan hambatan utama sorgum justru terletak pada pemasaran. Belum adanya konsumen tetap atau industri yang menyerap produksi membuat petani enggan menanamnya.

“Kendala utamanya ya di penjualan. Karena tidak ada yang menyerap, akhirnya mereka ganti komoditi. Sorgum ini kan masih belum familiar bagi kita,” tegasnya.

Dengan dukungan kebijakan pemerintah daerah, sorgum berpeluang menjadi simbol transformasi ekonomi hijau Kaltim. Selain memperkuat ketahanan pangan, pengembangannya dapat membuka peluang industri hilir berbasis pangan sehat dan energi terbarukan, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar tambang.

Jika masalah pemasaran dapat diatasi melalui hilirisasi dan kemitraan pembelian, lahan tambang tak lagi hanya dipulihkan, tetapi dapat menjadi lumbung pangan baru bagi Kaltim. (Ain)

Related posts